Minggu, 05 Mei 2013

Cinta Seorang Ibu

    Alkisah di suatu desa, ada seorang ibu yang sudah tua hidup berdua dengan anak lelaki satu - satunya. Suaminya sudah lama meninggal karena sakit. Sang ibu sering sekali merasa sedih memikirkan anak satu - satu nya. Adapun anaknya mempunyai tabiat yang sangat buruk, yaitu suka mencuri, berjudi, mengadu ayam, dan banyak kelakuan lainnya yang membuat si ibu sering menangis. meratapi nasibnya yang malang.
    Meskipun hidup anaknya dipenuhi oleh kejahatan, ibu tua itu selalu berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, tolong sadarkan anak yang kusayangi supaya ia tidak bebuat dosa lebih banyak lagi. Aku sudah tua dan aku ingin menyaksikan dia bertobat sebelum aku mati." Namun semakin lama kehidupan sang anak semakin larut dalam perbuatan jahatnya. Sudah sangat sering ia keluar masuk penjara karena kejahatannya yang telah dilakukannya.
    Suatu hari kemabli ia mencuri di sebuah rumah penduduk dea. Namun perbuatannya dipergoki oleh warga dan ia pun tertangkap. Kemudian ia dibawa ke hadapan raja untuk diadili sesuai dengan kebiasaan di kerjaan tersebut. Setelah ditimbang berdasarkan seringnya kejahatan yang dilakukannya, maka tanpaampun lagi si anak dijatuhi hukuman pancung. Pengumuman hukuman tersebut disebarkan ke seluruh desa. Hukuman pancung akan dilakukan esok harinya di depan rakyat tepat pada saat lonceng gereja di bunyikan menandakan pukul 6 pagi.
    Berita itu sampai juga ketelinga sang ibu. Dia menangis meratapi anak yang sangat dikasihinya. Sembari berlutut dia berdoa kepada Tuhan "Tuhan ampunilah anak hamba. Biarlah hamba-Mu yang sudah tua renta ini yang menanggung dosa dan kesalahannya." denga tertatih - tatih sang ibu kemudian mendatangi raja dan memohonsupaya anak nya dibebaskan. Tapi keputusan sang raja sudah bulat, si anak tetap harus menjalani hukumannya. Denga hati yang hancur si ibu kemabali ke rumah. tidak berhenti dia berdoa supaya. anaknya diampuni. Karena kelelahan dia tertertidur dan bermimpi bertemu dengan Tuhan.
    Keesokan harinyadi tempat yang  sudah di tentukan, rakyat berbondong - bondong datang untuk menyaksikan hukuman pancung tersebut. Sang algojo sudah siapdengan pancungannya dan si anak tadi sudah tua. Tanpa terasa ia menangis menyesali perbuatannya.
    Detik - detik yang dinantikan akhirnya tiba. sampai waktu yang di tentukan, lonceng gereja tidak juga terdengar berdentang. Suasana mulai berisik. Sudah 5 menit terlewati dari batas waktu yang seharusnya. Akhirnya didatangilah petugas yang bertugas membunyikan lonceng gereja. Dia juga mengaku heran, karena sudah sedari tadi dia menarik lonceng tapi suara dentangnya tidak terdengar.
    Ketika mereka sedang terheran - heran karena ke anehan yang sedang terjadi, tiba - tiba dari tali yang dipegangnya mengalir darah. Darah tersebut datangnya dari atas, dari tempat dimana lonceng diikat. Seluruh rakyat pun mulai mulai berkumpul menyaksikan keanehan tersebut dan orangpun diutus untuk naik ke atas dan menyelidiki sumber darah itu. Tahukah anda apa yang mereka temukan? Ternyata di dalam lonceng yang mengakibatkan lonceng tidak berbunyi dan sebagai gantinya, kepala yang terbentur ke dinding lonceng.
    Seluruh orang yang menyaksikan kejadian itu tertunduk dan meneteskan air mata. Sementara si anak meraung - raung memeluk ibunya yang sudah di turunkan. Dia menyesali dirinya yang selalu menyusahkan ibunya. Ternyata malam sebelumnya si ibu dengan susah payah memanjat ke atas dan mengikat dirinya di lonceng tersebut serta memeluk besi di dalam lonceng untuk menghindari hukuman pancung yang akan dijalani anaknya.

Sejarah Batik Nusantara

Sejarah batik di Nusantara sudah dimulai jauh sebelum kata “Indonesia” sendiri tercipta. Budaya teknik cetak motif batik tutup celup dengan menggunakan malam dari sarang lebah di atas kain sebenarnya tidak eksklusif terdapat di Indonesia, melainkan terbentang dari Mesir hingga kawasan Timur Tengah lainnya.
Teknik ini juga dapat dijumpai di Turki, India, Cina, Jepang dan Afrika. Namun tidak ada satu tempat pun di dunia ini yang mengembangkan teknologi dan motif batik sedemikian kompleks dan kaya seperti di Indonesia (terutama Jawa).
Teori mengenai asal-muasal batik telah menjadi perbincangan yang cukup pelik. G.P. Rouffaer, ilmuwan Belanda yang meneliti soal batik mengatakan, teknik ini dibawa pertama kali dari daerah India Selatan. Ada lagi pendapat dari J.L.A Brandes yang mengatakan bahwa sebenarnya sebelum ada pengaruh India datang ke Indonesia, Nusantara telah memiliki 10 unsur kebudayaan asli yaitu, wayang, gamelan, puisi, pengecoran logam mata uang, pelayaran, ilmu falak, budidaya padi, irigasi, pemerintahan, serta batik.
Teori ini kemudian sedikit mematahkan teori bahwa batik berasal dari India Selatan.
Ada lagi yang menceritakan, sejarah batik di Indonesia tumbuh dan berkembang semenjak adanya impor kain tenun dari India pada abad ke-17. Kain Eropa juga masuk ke Indonesia pada awal tahun 1815. Namun teori ini juga bergulir begitu saja. Mengingat motif-motif serupa motif batik sudah dapat kita temukan di relief-relief candi Prambanan dan juga Candi Borobudur. Artinya, bangunan-bangunan yang sudah berdiri semenjak abad ke-8 ini sudah mempengaruhi motif batik yang ada hingga sekarang.
Sebuah tinjauan sejarah yang diterbitkan oleh Bataviaasche Genootchap Van Kunsten Wetwnschapen tahun 1912 dan bernama kitab Centini menyebutkan, pada jaman Pakubuwono V, sudah ada istilah batik dan pada waktu itu sudah terdapat motif-motif halus seperti gringsing, kawung, parang rusak dan lain-lain.
Dalam kitab ini juga disebutkan bahwa canting sudah digunakan pada saat itu. Dalam kesusastraan kuno dan pertengahan, sempat ditemukan pembahasan soal nyerat atau nitik yang diduga merupakan teknik menghias kain menggunakan malam. Kemudian, setelah keraton Kartasuro pindah ke Surakarta, muncullah istilah mBatik dari Jarwo Dosok. Kata ini berasal dari gabungan kata “ngembat” dan “titik” yang berarti membuat titik.
Dari semua tinjauan literatur ini cukup terlihat bahwa teknik merintang warna dengan menggunakan malam ini memang berkembang dan maju di tanah Jawa, terutama Jawa Tengah. Perkara kemudian seluruh daerah di Nusantara memiliki batik sudah jelas akibat proses bergeraknya manusia dan bergeraknya kebudayaan yang ada bersama manusia-manusia tersebut.
Dan teknik ini kemudian juga berkembang, mengikuti proses asimilasi budaya orang-orangnya. Dan inilah yang kemudian membuat batik menjadi begitu kaya dan beragam.
Dari timur ke barat, dari utara ke selatan, hampir semua daerah di pulau Jawa memiliki batiknya sendiri-sendiri.  Bicara batik Jogja dan Solo, maka kita akan bicara sedikit tentang sejarah kerajaan Mataram Islam. Sebuah buntut dari kedigdayaan kerajaan Nusantara yang begitu berjaya pada masanya.
Melalui proses yang sangat pelik dan melibatkan ratusan kali pemberontakan akhirnya kerajaaan Mataram Islam dipecah menjadi dua melalui perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.
Perjanjian yang sedikit banyak melibatkan campur tangan VOC ini, membagi wilayah Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Dimana Pakubuwono III menjadi rajanya dan Pangeran Mangkubumi menjadi Raja di wilayah yang baru dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Intinya, pemisahan wilayah ini, kemudian membuat berbagai macam perubahan dalam budaya di kedua wilayah tersebut.
Kasunanan Surakarta, yang merupakan awal dari kerajaan Mataram Islam mempertahankan semua jenis kebudayaan yang mereka miliki. Mulai dari ritual, tarian sampai ke batik. Sedangkan Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat cenderung membuat berbagai macam tradisi baru, namun tetap berakar pada tradisi kerajaan Mataram Islam. Termasuk juga kain batiknya.
Apabila sedikit disimpulkan, budaya pada Kasunanan Surakarta lebih konvensional dibandingkan Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat yang cenderung progresif. Ini terlihat misalnya pada tarian di Yogyakarta yang lebih dinamis, dibandingkan posisi berdiri yang lebih tegak dibandingkan Surakarta.
Untuk batik, Sultan Hamengkubuwono I dari Yogya, memilih latar putih sebagai warna dasar kain batiknya. Sedangkan Susuhunan Pakubuwono III dari Kasunanan Surakarta/ Solo tetap memilih latar sogan dan cenderung gelap untuk kain batiknya.
Warna putih adalah warna dominan yang dapat kita lihat pada kain batik Yogya. Warna sogan cokelat kuning keemasan adalah warna dominan batik Solo.
Apabila batik Yogya tampil dalam warna gelap, maka warna gelap kebiruanlah yang akan dominan terlihat pada kain batiknya. Sedangkan Batik Solo akan tampil dalam warna hitam kecokelatan ketika tampil dalam warna gelap. Ini muncul sebagai akibat dari proses pencelupan warna biru berkali-kali yang didapatkan dari tanaman indigo.
Sedangkan warna hitam kecokelatan yang terdapat pada batik Solo merupakan hasil pencelupan berkali-kali warna cokelat sogan.
Ini adalah hal paling mendasar yang membedakan batik Yogya dan Solo. Warna sogan atau kuning cokelat keemasan tetap menjadi warna khas kedua batik ini.
Beberapa perbedaan juga terlihat bagaimana perajin batik Yogya dan Solo dalam memprodo — hiasan emas pada motif — batik mereka.
Membubuhkan prodo gaya Solo berbeda dengan gaya Yogya. Pada gaya Solo, yang dibubuhi prodo hanyalah garis luar (outline) corak dan sebagian isen-isennya. Sedangkan gaya Yogya, hampir seluruh corak dan isennya dilapisi prodo. Kesan yang ditampilkan pada prodo gaya Solo adalah lebih tenang dan anggun, sedangkan pada gaya Yogya lebih gagah dan menonjol.

Sabtu, 04 Mei 2013

Menelusuri Jejak Vietnam di Pulau Galang

                   Pulau Galang adalah salah satu pulau kecil di Provinsi Kepulauan Riau. Letaknya tidak jauh dari Kota Batam, hanya sekitar 50 kilometer. Pulau ini terkenal karena dahulu pernah digunakan sebagai tempat pengungsian para manusia perahu dari Vietnam. Kini, yang tinggal hanya sisa-sisanya, namun masih layak untuk dikunjungi.Pulau Galang menjadi tempat pengungsian manusia perahu Vietnam antara tahun 1979 hingga 1996. Ketika itu, untuk menghindar dari Perang Vietnam yang bergejolak banyak rakyat Vietnam yang nekat mencari suaka di negara lain. Mereka yang terdampar di pulau-pulau Indonesia seperti misalnya di Natuna, Anambas, ataupun Tarempa akhirnya dipindahkan ke Galang sambil menunggu penentuan nasib mereka. Di sini mereka dibantu oleh badan PBB yang mengurusi masalah pengungsi yaitu UNHCR. Di kompleks pengungsian yang dulu terkenal dengan nama Kamp Sinam ini terdapat fasilitas yang cukup lengkap sehingga bagai satu kampung tersendiri. Kompleksnya pun sangat luas dan dikelilingi oleh hutan. Kamp pengungsian seluas 80 hektar ini memang dibuat terisolasi karena selain untuk memudahkan pengawasan, juga untuk menghindari penyebaran penyakit kelamin Vietnam Rose yang dibawa oleh pengungsi. Ketika berkunjung ke Kamp Sinam beberapa hari yang lalu, saya melihat masih banyak peninggalan yang tersisa. Salah satu yang paling monumental adalah perahu-perahu kayu yang dahulu membawa para pengungsi dari Vietnam. Sulit untuk membayangkan bagaimana perahu sekecil itu mampu bertahan melewati terjangan gelombang laut lepas. Peninggalan lain yang masih dapat dilihat adalah barak-barak pengungsi. Barak tersebut terbuat dari kayu berbentuk memanjang, seperti yang mungkin pernah Anda lihat di daerah setelah bencana.  Selain itu ada juga bekas rumah sakit, penjara, sekolah, kesemuanya tampak sedikit menyeramkan karena memang sudah tidak digunakan lagi. Ada juga satu kompleks pemakaman bernama Ngha Trang  yang cukup besar, menampung 503 makam. Beberapa rumah ibadah, seperti gereja dan vihara masih tampak gagah berdiri. Gereja Katolik Ngha Tho Duc Me Vo Nhiem dihubungkan oleh sebuah jembatan. Sementara itu Vihara Quan Am Tu mungkin merupakan bangunan yang paling mencolok. Di sini terdapat patung Dewi Guang Shi Pu Sha, tempat para pengungsi berdoa untuk mendapatkan keberuntungan, jodoh, harmoni dalam rumah tangga, dan sebagainya.  Walau kini yang tertinggal hanyalah sisa-sisa, namun itu semua adalah saksi sejarah. Dalam kurun waktu 17 tahun lebih dari 200.000 pengungsi Vietnam tinggal di tempat ini sebelum akhirnya mendapatkan suaka di beberapa negara di Eropa, Australia, ataupun kembali ke negaranya.